Kompetisi dan Leadership



Pada sebuah Sekolah Menengah Pertama, ada seorang siswa tahun pertama yang memiliki potensi luar biasa dibidang Pramuka. Kita sebut saja siswa itu bernama Budi. Hampir semua bidang di Pramuka dia kuasai seperti tali menali, sandi, berbaris, kompas, peta buta, semaphore dan sebagainya. Sekolah tersebut selain sekolah favorit diwilayah tersebut juga terkenal dengan keunggulan Gugus Depan Pramukanya (Gudep). Hampir pasti, setiap ada lomba Pramuka, regu dari Gudep Sekolah keluar sebagai juara umumnya. Dan Budi sudah masuk pantauan pembina Pramuka sekolah untuk kaderisasi.

Beberapa bulan sebelum ada Lomba Tingkat II (LT II), Pembina mendatangi Budi dan menawarkan untuk masuk ke Regu senior yang rata-rata siswa kelas II dan Kelas III anggota regunya. Pembina berkata kepada Budi bahwa ini kesempatan untuknya menunjukkan kemampuannya dengan bergabung sebagai anggota regu senior sambil belajar lebih dalam tentang kepramukaan. Sebuah tawaran menggiurkan dan menjadi sebuah sanjungan buat sorang bocah yang baru masuk ditahun pertamanya. Yang sudah hampir pasti siswa manapun akan mengiyakan untuk bergabung, terlebih dia juga diminta langsung oleh senior kelas II dan kelas III untuk bergabung.

Dan jawaban Budi pun diluar dugaan tidak seperti yang diharapkan pembina dan seniornya. Budi menolak dan dia memilih untuk bergabung dengan Gudep sekitar dia tinggal (Gudep yang didirikan diperusahaan dimana tempat ayahnya bekerja). Gudep gurem dengan prestasi minim, yang anggotanya adalah dari sekolah Budi, yang tidak dianggap cukup kemampuannya oleh pembina pramukanya sendiri, bahkan ada yang masih duduk di Sekolah Dasar. Alasan Budi memilih Gudepnya adalah,
 "Bila saya bergabung dengan Sekolah, saya hanya menjadi anggota regu yang terbatas wewenang saya dalam mengembangkan regu, apalagi anggota regu lainnya adalah kakak kelas saya yang lebih berpengalaman dan (merasa) lebih jago dari saya. Bila di Gudep yang sekarang ini, saya menjadi ketua regu dan saya memiliki wewenang lebih untuk mengajari anggota regu, mengeksplorasi kemampuan mereka dan pada dasarnya Lomba ini berbasis kelompok bukan kemampuan individu."

Dan diakhir cerita, seperti yang anda duga, Budi dengan Regu guremnya akhirnya menjadi Juara Pertama mengalahkan regu Sekolahnya yang berada diperingkat 2. Cerita ini benar-benar terjadi.

Apa yang dapat kita ambil dari kisah ini?

Ilmu sebagai Nilai Netral
Sekompleksnya ilmu atau pengetahuan, pada level tertentu memiliki batasan. Dalam hal diatas digambarkan sebagai pendidikan Kepramukaan. Yang membedakan tiap individunya adalah ketrampilan memanfaatkannya. Pada tingkat tertentu, semua orang mungkin tahu bahwa 10 x 10 adalah 100 atau bahwa Ibukota Negara Indonesia adalah Jakarta. Tapi yang bisa memanfaatkan 10 x 10 = 100 dengan baik dan atau menelaah lebih dan memanfaatkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia, tidak semua orang bisa. Atau sebaliknya, bisa dimanfaatkan bisa pula disalahgunakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

For Rent : Sony HXR-MC1500P

Giliran WhatsApp for Facebook yang dikerjain